TikTok Doxxing
Perkembangan yang mengkhawatirkan di TikTok telah mengungkap penggunaan teknologi pengenalan wajah yang siap pakai untuk melakukan dox terhadap individu biasa, menggarisbawahi tantangan yang mendesak seputar privasi di ranah publik.
Dengan lebih dari 90.000 pengikut, akun ini telah memperkenalkan orang-orang yang ditampilkan dalam video viral atau direkomendasikan oleh pemirsa.
Pendekatan ini mencakup pengambilan tangkapan layar dari subjek, memasukkan gambar mereka ke perangkat lunak pengenal wajah, dan kemudian mengungkapkan identitas lengkap, pegangan media sosial, dan kadang-kadang bahkan majikan mereka kepada khalayak luas.
Matthew, seorang korban doxing TikTok, awalnya terlibat dalam interaksi online yang tidak berbahaya yang mendiskusikan Pedro Pascal, tanpa mengungkapkan informasi pribadi.
Namun, akun tersebut melakukan investigasi secara mendetail, dengan menggunakan perangkat lunak pengenal wajah dansitus web eksternal, Pimeyes untuk mengungkap foto majikannya.
Berbekal informasi ini, akun tersebut mengekspos nama lengkap dan profil Instagram Matthew, yang memicu gelombang perhatian dan beragam diskusi, termasuk pertanyaan tentang etika praktik tersebut.
Video TikTok tersebut telah ditonton lebih dari 675.000 kali, disertai dengan komentar-komentar yang meremehkan dari sesama pengguna TikTok.
Reaksi Publik
Beberapa korban dari inisiatif doxing ini telah berbagi sentimen pelanggaran terkait potensi eksploitasi teknologi ini.
Eli Lloyd, salah satu korban, menyatakan:
"Saya khawatir tentang potensi penerapan teknologi ini untuk sesuatu yang lebih buruk daripada kehausan online. Seperti menguntit secara penuh, misalnya, atau entah apa lagi."
Seperti yang dibuktikan oleh postingan X (sebelumnya Twitter), korban menyatakan kelegaannya setelah video-video tersebut dihapus.
Masalah Privasi
Kasus Matthew menjadi ilustrasi potensi risiko yang terkait dengan penggunaan teknologi pengenalan wajah yang tidak tepat.
Meskipun ada pelanggaran dan pelecehan privasi yang nyata, Tiktok memilih untuk tidak menghapus akun tersebut, dengan alasan tidak adanya pelanggaran kebijakan.
Para ahli dalam kebijakan media sosial telah mendesak untuk mengkaji ulang keputusan ini, dengan menekankan perlunya peraturan dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk memerangi praktik-praktik penyalahgunaan tersebut.